Sabtu, 20 Juli 2013

Puisi untuk guru

PUISI UNTUK GURU 

Engkau bagaikan cahaya
Yang menerangi jiwa
Dari segala gelap dunia

Engkau adalah setetes embun
Yang menyejukan hati
Hati yang ditikam kebodohan
Sungguh mulia tugasmu Guru
Tugas yang sangat besar

Guru engkau adalah pahlawanku
Yang tidak mengharapkan balasan
Segala yang engkau lakukan
Engkau lakukan dengan ikhlas

Guru jasamu takkan kulupa
Guru ingin ingin kuucapkan
Terimakasih atas semua jasamu

kulkas smk

Kalau kebanyakan lemari pendingin (kulkas) yang ada menggunakan energi listrik sebagai sumber dinginnya,  Siswa SMK di Ungaran, Kabupaten Semarang Jawa Tengah, berhasil menciptakan kulkas tanpa listrik.
 
Dengan hanya menggunakan karung goni dan bambu, kulkas buatan siswa SMK di Ungaran tersebut dapat mengawetkan sayuran hingga 1 minggu.Bagian dinding kulkas dibuat dengan karung goni yang dirangkai dengan menggunakan rangka kayu. Kemudian setelah selesai membentuk sebuah almari, baru penyekat antar rongga di dalam kulkas dipasang.
 
Untuk penyekat rongga di dalam kulkasnya, digunakan bambu yang dibentuk seperti sebuah rakit namun memiliki kerenggangan yang cukup besar. Usai kulkas terakit semua, kemudian disemprotkanlah air ke karung goni. Air itulah yang digunakan sebagai media pendingin.
 
Inovasi kulkas tanpa listrik tersebut, prinsip kerjanya berdasarkan karung goni yang dibasahi air. Karung itu akan menyerap udara panas yang dikeluarkan oleh sayuran, sehinga sayuran bisa bertahan hingga 1 minggu.
 
Teknologi pertanian itu sangat bermanfaat bagi para pedagang sayur mayur ataupun para petani. Bila stok sayuran melimpah, maka mereka dapat menyimpannya terlebih dahulu tanpa kesulitan. Sehingga sayuran tidak layu dan harganya pun masih tinggi.
 
Untuk membuat kulkas tanpa listrik tanpa listrik itu, Anda membutuhkan biaya Rp 150 ribu saja. 

Kamis, 18 Juli 2013

SEJ. IND. BAB 1 UJI KOMPETENSI 2

Uji Kompetensi
1.   Kita wajib bersyukur karena Tuhan Yang Maha Pencipta yang telah
menciptakan bumi kita ini dengan arif dan bijaksana serta penuh
kasih sayang kepada makhluk ciptaan-Nya. Coba beri penjelasan,
kamu dapat berdiskusi dengan anggota kelompokmu!
2.   Menurut  kamu  nilai-nilai  apa  yang  dapat  dipetik  dari  proses
terbentuknya pulau-pulau di Kepulauan Indonesia?
3.   Hikmah apa yang dapat kita peroleh dengan bertempat tinggal
di wilayah yang sering terjadi bencana alam?
4.   Di setiap daerah tentu ada cerita rakyat ataupun dongeng yang
berkaitan dengan gempa bumi maupun gunung meletus, coba
kamu  cari  dan  tuliskan  dalam  bentuk  cerita  3  –  4  halaman,
kemudian diskusikan.
5.   Sebutkan gunung api yang pernah meletus di daerahmu dan di
Indonesia!
6.   Sebutkan  bencana  alam  (tektonik)  yang  pernah  terjadi                                
di daerahmu dan di Indonesia

SEJARAH INDONESIA BAB 1 (2) UJI KOMPETENSI

 Uji Kompetensi
1.   Mengapa  istilah  praaksara  lebih  tepat  dibandingkan  dengan
istilah  prasejarah  untuk  menggambarkan  kehidupan  manusia
sebelum mengenal tulisan.
2.   Bagaimana secara metodologis kita dapat mengetahui kehidupan
manusia sebelum mengenal tulisan.
3.   Mesir  mengakhiri  zaman  praaksara  sekitar  tahun  3000  S.M,
tetapi  di  Indonesia  baru  abad  ke-4  sampai  ke-5  M.  Mengapa
demikian?
4.   Apa saja pelajaran yang dapat kita peroleh dari belajar kehidupan
pada zaman praaksara?

SEJARAH INDONESIA BAB 1 (1)

Bab I
Menelusuri
Peradaban Awal di
Kepulauan Indonesia
Indonesia terletak di persimpangan tiga lempeng benua-ketiganya
bertemu di sini-menciptakan tekanan sangat besar pada lapisan kulit
bumi. Akibatnya, lapisan kulit bumi di wilayah ini terdesak ke atas,
membentuk paparan-paparan yang luas dan beberapa pegunungan
yang  sangat  tinggi.  Seluruh  wilayah  ini  sangat  rentan  terhadap
gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi dahsyat yang kerap
mengakibatkan  kerusakan  parah.  Hal  ini  terlihat  dari  beberapa
catatan  geologis.  Gempa  bumi  dan  tsunami  mengerikan  yang
dialami Aceh belum lama ini hanyalah episode terakhir  dari seluruh
rangkaian  peristiwa  panjang  dalam  masa  prasejarah  dan  sejarah.
(Arysio Santos, 2010)

(1) HUKUM-HUKUM SYARA’

(1) HUKUM-HUKUM SYARA’

Ketentuan-ketentuan dari Allah dan RasulNya yang bersifat perintah, larangan, anjuran dan yang seumpamanya, oleh ‘ulama-’ulama di-ishthilahkan dengan HUKUM-HUKUM SYARA’, HUKUM-HUKUM SYARIAT atau HUKUM-HUKUM AGAMA.
Dengan ketentuan-ketentuan yang mereka adakan itu, ‘ulama-‘ulama mengeluarkan beberapa macam hukum.
Cukuplah dalam TAMHIED ini kita mengenal 5 macam hukum yang biasa disebut-sebut, yaitu :
  • (1) Wajib,
  • (2) Sunnat,
  • (3) Haram,
  • (4) Makruh,
  • (5) Mubah.
W a j i b

Tentang “wajib” ini, ada banyak ta’rif yang dikemukakan oleh ‘ulama’-‘ulama. Diantaranya, yang agak tepat, ialah ta’rif yang berbunyi :

“Wajib itu satu ketentuan Agama yang harus dikerjakan. Kalau tidak, berdosalah”

Umpamanya : Shalat ‘Isya’, hukumnya ,.wajib”, ya’ni satu ketentuan yanq harus dikerjakan. Kalau orang Islam lidak mau shalat yang diperintah itu, berdosalah ia.

Alasan yang dipakai untuk membuat ta’rif tersebut, adalah firman Allah swt. diantaranya:

Arinya : Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang meIanggar perintah Allah daripada ditimpa fitnah,
atau ditimpa ‘adzab yang pedih.
(Quran, An-Nur 83)

Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa orang yang melanggar perintah Allah (=Agama) itu, akan disiksa, sedang yang akan di-adzab itu tidak lain, melainkan orang yang berdosa.

S u n n a h :

Ta’rief untuk “sunnah”, demikian :

"SUNNAH” itu satu perbuatan yang kalau dikerjakan, akan diberi ganjaran, tetapi kalau tidak dikerjakan tidak berdosa,
Contohnva :
Nabi s.a.w. bersabda :

Artinya: : Shaumlah sehari, dan berbukalah sehari.
(Riwayat Bukhary dan Muslim)

Dalam Hadiets ini, ada perintah „shaumlah”, Kalau perintah ini dianggap „wajib”, berarti menyalahi sabda Nabi s.a.w. yang dihadapkan kepada seorang ‘Arab gunung, bahwa shaum yang „wajib” itu, adalah shaum bulan Ramadlan saja. Maka „perintah” dalam Hadiets itu bukan wajib. Kalau bukan wajib, maka sesuatu perintah itu menuju kepada dua kemungkinan :
(1) kemungkinan „sunnah” dan (2) kemungkinan „mubah”.

“Shaum” adalah soal Agama.atau ‘ibadat. Perintah yanq bukan wajib, kalau berhubunq dengan ‘ibadat, dihukumkan „sunnah”. Maka , shaum sehari, berbuka sehari” itu, hukumnya “sunnah”, yaitu : kalau dikerjakan mendapat ganjaran, tetapi tidak berdosa, kalau tidak dilakukan.

Alasan untuk ketetapan demikian itu, ada banyak. Diantaranya firman Allah s.w.t.

Artinya :  Dan bagi orang-2 yg berbuat kebaikan (disediakan) kebaikan dan tambahan.
(Quran, Surah Yunus 28)

Ayat tersebut, menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan sesuatu kebaikan, selain mendapat balasan, ada pula tambahan. Tambahan inilah yang biasa kita katakan „ganjaran”.

H a r a m :

Ta’rief bagi hukum "haram” itu, diantaranya demikian :

„HARAM” itu satu ketentuan larangan dari Agama yanq tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu”.
Umpamanpa :
Nabi saw Bersabda:

Artinya : Janganlah kamu mendatangi tukang-2 tenung.
(Shahih Riwayat Thabarany)

“Mendatangi tukang-tukang tenung” denqan tujuan menanyakan sesuatu hal Ghaib, lalu dipercayainya itu, tidak boleh. Kalau orang berbuat yang demikian itu, berdosalah ia.
Alasan untuk ta’rief „haram” tersebut, diantaranya, sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan ta’rief „wajib”, yaitu ayat Quran. surah An-Nur 83.

M a k r u h :

Arti „makruh” : dibenci. Diantara ta’rief-ta’rief nya yang kena, adalah begini :

„MAKRUH itu, satu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan daripada dilakukan”.

Sebagai contoh : „Makan binatang buas”.
Dalam Hadiets ­hadiets ada larangannya. Kita hukumkan dia “Makruh”.

Jalannya begini :
Dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau „larangan” makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi s.a.w. ,yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mu
ngkin. Berarti binatang buas itu „tidak haram”. Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hukum : mubah atau makruh. „Mubah” tidak kena, karena Nabi s.a.w. melarang, bukan memerintah. Jadi „larangan” Nabi s.a.w. dalam Hadiets-hadiets tentang binatang buas itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain, melainkan „makruh”.
Kesimpulannya :     Binatang buas itu „makruh”.

M u b a h :

„Mubah” artinya :  dibolehkan. Sering juga disebut  „halal”, Ta’riefnya begini :

„MUBAH itu, ialah satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya”.
 
Umpamanya :
Dalam Quran ada perintah makan „Perintah” ini dianggap „mubah”.
 
Alasannya begini :
Kalau kita anggap „perintah makan” itu „wajib”, maka anggapan ini tidak kena, karena „makan” ini suatu perbuatan ,yang mau tidak mau, diperintah atau tidak, mesti dilakukan oleh setiap manusia.
 
Sesuatu yang sudah mesti dan tak dapat dielak, tidak perlu di  „wajibkan”. Berarti „perintah” Allah itu bukan wajib. Sesuatu yang bukan wajib, menghadapi dua kemungkinan hukum : sunnat dan mubah.
 
Oleh karena „makan” itu soal keduniaan, dan satu kemestian yang tidak boleh terlepas dari manusia, maka bukanlah ia sesuatu ‘amal yang dijanjikan ganjaran padanya. Kalau bukan ‘amal, maka hukumnya adalah „mubah”.

KESIMPULAN DAN PENJELASAN :

  1. Ta'rief-ta'rief yang saya sebutkan di atas, adalah ta'rief ­ta'rief sederhana untuk memudahkan pengertian.
  2. Perintah-perintah Agama mempunyai hukum : wajib atau sunnat atau mubah.
  3. Hukum wajib dan sunnat ada pada amal-amal 'ibadat dan keduniaan, tetapi hukum mubah hanya ada pada keduniaan saja.
  4. Larangan-larangan Agama mempunyai hukum-hukum : haram dan makruh. Hukum-hukum ini ada dalam 'ibadat dan keduniaan.

1. TAMHIED

1. TAMHIED

(oleh Abdul-Qadir Hassan)
 


 
Untuk melengkapi pengertian masalah-rnasalah dalam kitab “SOAL-JAWAB” yang pernah diterbitkan oleh Persatuan Islam Bandung dan Bangil yang sekarang diterbitkan oleh c.v. DIPONEGORO Bandung, maka atas permintaan penerbitnya saya susunlah TAMHIED ini.
 
TAMHIED ini saya bagi atas 4 bagian :
 
1.  yang berhubung dengan hukum-hukum Syari’at,
2.  yang berhubung dengan bahasa (lughat)
3.  yang berhubung dengan ‘ilmu Hadiets, dan
4.  yang berhubung dengan Ushul Fiqih.

Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah

Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.

Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.
5. Bertakbir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)
Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.
7. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.
8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.
Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
  1. Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
  2. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
  3. Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
  4. Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
  5. Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
  6. Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
  7. Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
  8. Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
  9. Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).
Maroji’:
  1. Ahkamul ‘Aidain oleh Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari.
  2. Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya.


IDHUL FITRI

"KELIRUNYA UCAPAN HARI RAYA DI INDONESIA"

Asslm.wrwb.
...

Sejalan dengan akan datangnya Idhul Fitri, sering kita dengar tersebar ucapan:

“MOHON MAAF LAHIR & BATHIN ”.

Seolah2 saat Idhul Fithri hanya khusus dengan ucapan semacam itu.

Sungguh sebuah salah kaprah, karena Idhul Fithri bukanlah waktu khusus untuk saling maaf memaafkan. Memaafkan bisa kapan saja tidak terpaku dihari Idhul Fitri. Demikian Rasul mengajarkan kita.

Tidak ada satu ayat Qur'an ataupun suatu Hadist yang menunjukan keharusan mengucapkan “ Mohon Maaf Lahir dan Batin ” disaat2 Idhul Fitri.

Satu lagi, ucapan yang keliru saat Idhul Fithri, yakni ucapan :

"MINAL 'AIDIN WAL FAIZIN".

Arti dari ucapan tersebut adalah :

“ Kita kembali dan meraih kemenangan ”

KITA MAU KEMBALI KEMANA ?Apa pada ketaatan atau kemaksiatan ?

Meraih kemenangan ?

Kemenangan apa ? Apakah kita menang melawan bulan Ramadhan sehingga kita bisa kembali berbuat keburukan ?

Satu hal lagi yang mesti dipahami, setiap kali ada yang ucapkan

“ Minal ‘Aidin wal Faizin ”

lantas diikuti dengan kalimat

“ Mohon Maaf Lahir dan Batin ”.

Karena mungkin kita mengira artinya adalah kalimat selanjutnya.

Ini sungguh KELIRU luar biasa.

Coba saja sampaikan kalimat itu pada saudara2 seiman kita di Pakistan, Turki, Saudi Arabia atau negara2 lain....PASTI PADA BENGONG BIN BINGUNG!.

Sebagaimana diterangkan di atas, dari sisi makna kalimat ini keliru sehingga sudah sepantasnya kita HINDARI.

Ucapan yang lebih baik dan dicontohkan langsung oleh para sahabat Rasulullah SAW, yaitu :

“Taqobbal Allahu minna wa minkum "

( Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian )

Jadi lebih baik, ucapan / SMS /BBM kita :

" Selamat Idhul Fitri. Taqobbal Allahu minna wa minkum "

( Semoga Allah menerima amalku dan amal kalian )

Semoga risalah ini bermanfaat dan saling berbagi niat untuk meluruskan kekeliruan yang selama ini terjadi...Silahkan disebarkan.

Baraka Allah fiikum.
















Berhari Raya Sesuai Tuntunan Rasulullah

Penulis: Ummu ‘Athiyah
Tiap tanggal 1 Syawal kita berhari raya ‘Iedul Fitri. Wahai Saudariku, ketahuilah bahwa hari raya ini merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Disebut ‘Ied karena pada hari itu Allah memberikan berbagai macam kebaikan yang kepada kita sebagai hambaNya. Diantara kebaikan itu adalah berbuka setelah adanya larangan makan dan minum selama bulan suci Romadhan dan kebaikan berupa diperintahkannya mengeluarkan zakat fitrah.
Para ulama telah menjelaskan tentang sunah-sunah Rasulullah yang berkaitan dengan hari raya, diantaranya:
1. Mandi pada hari raya.
Sa’id bin Al Musayyib berkata: “Sunah hari raya ‘idul Fitri ada tiga: berjalan menuju lapangan, makan sebelum keluar dan mandi.”
2. Berhias sebelum berangkat sholat ‘Iedul Fitri.
Disunahkan bagi laki-laki untuk membersihkan diri dan memakai pakaian terbaik yang dimilikinya, memakai minyak wangi dan bersiwak. Sedangkan bagi wanita tidak dianjurkan untuk berhias dengan mengenakan baju yang mewah dan menggunakan minyak wangi.
3. Makan sebelum sholat ‘Idul Fitri.
“Dari Anas RodhiyAllahu’anhu, ia berkata: Nabi sholAllahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar rumah pada hari raya ‘Iedul fitri hingga makan beberapa kurma.” (HR. Bukhari). Menurut Ibnu Muhallab berkata bahwa hikmah makan sebelum sholat adalah agar jangan ada yang mengira bahwa harus tetap puasa hingga sholat ‘Ied.
4. Mengambil jalan yang berbeda saat berangkat dan pulang dari sholat ‘Ied.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan Rasulullah, beliau mengambil jalan yang berbeda saat pulang dan perginya (HR. Bukhari), diantara hikmahnya adalah agar orang-orang yang lewat di jalan itu bisa memberikan salam kepada orang-orang yang tinggal disekitar jalan yang dilalui tersebut, dan memperlihatkan syi’ar islam.
5. Bertakbir.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berangkat menunaikan sholat pada hari raya ‘ied, lalu beliau bertakbir sampai tiba tempat pelaksanaan sholat, bahkan sampai sholat akan dilaksanakan. Dalam hadits ini terkandung dalil disyari’atkannya takbir dengan suara lantang selama perjalanan menuju ke tempat pelaksanaan sholat. Tidak disyari’atkan takbir dengan suara keras yang dilakukan bersama-sama. Untuk waktu bertakbir saat Idul Fitri menurut pendapat yang paling kuat adalah setelah meninggalkan rumah pada pagi harinya.
6. Sholat ‘Ied.
Hukum sholat ‘ied adalah fardhu ‘ain, bagi setiap orang, karena Rosulululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengerjakan sholat ‘Ied. Sholat ‘Ied menggugurkan sholat jum’at, jika ‘Ied jatuh pada hari jum’at. Sesuatu yang wajib hanya bisa digugurkan oleh kewajiban yang lain (At Ta’liqat Ar Radhiyah, syaikh Al Albani, 1/380). Nabi menyuruh manusia untuk menghadirinya hingga para wanita yang haidh pun disuruh untuk datang ke tempat sholat, tetapi disyaratkan tidak mendekati tempat sholat. Selain itu Nabi juga menyuruh wanita yang tidak punya jilbab untuk dipinjami jilbab sehingga dia bisa mendatangi tempat sholat tersebut, hal ini menunjukkan bahwa hukum sholat ‘Ied adalah fardhu ‘ain.
Waktu Sholat ‘Ied adalah setelah terbitnya matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya matahari (waktu Dhuha). Disunahkan untuk mengakhirkan sholat ‘Iedul Fitri, agar kaum muslimin memperoleh kesempatan untuk menunaikan zakat fitrah.
Disunahkan untuk mengerjakan di tanah lapang di luar pemukiman kaum muslimin, kecuali ada udzur (misalnya hujan, angin kencang) maka boleh dikerjakan di masjid.
Dari Jabir bin Samurah berkata: “Aku sering sholat dua hari raya bersama nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa adzan dan iqamat.” (HR. Muslim) dan tidak disunahkan sholat sunah sebelum dan sesudah sholat ‘ied, hal ini sebagaimana perkataan Ibnu Abbas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sholat hari raya dua raka’at. Tidak ada sholat sebelumnya dan setelahnya (HR. Bukhari: 9890)
Untuk Khutbah sholat ‘ied, maka tidak wajib untuk mendengarkannya, dibolehkan untuk meningggalkan tanah lapang seusai sholat. Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dibuka dengan takbir, tapi dengan hamdalah, dan juga tanpa diselingi dengan takbir-takbir. Beliau berkutbah di tempat yang agak tinggi dan tidak menggunakan mimbar. Rasulullah berkutbah dua kali, satu untuk pria dan satu untuk wanita, ketika beliau mengira wanita tidak mendengar khutbahnya.
7. Ucapan selamat Hari Raya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah ditanya tentang mengucapkan selamat pada hari raya dan beliau menjawab: “Adapun ucapan selamat pada hari raya ‘ied, sebagaimana ucapan sebagian mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah sholat ‘ied yaitu: Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian) atau ahaalAllahu ‘alaika (Mudah-mudahan Allah memberi balasan kebaikan kepadamu) dan semisalnya.” Telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi bahwa mereka biasa melakukan hal tersebut. Imam Ahmad dan lainnya juga membolehkan hal ini. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak akan memulai seseorang dengan ucapan selamat ‘ied, Namun jika seseorang itu memulai maka saya akan menjawabnya.” Yang demikian itu karena menjawab salam adalah sesuatu yang wajib dan memberikan ucapan bukan termasuk sunah yang diperintahkan dan juga tidak ada larangannya. Barangsiapa yang melakukannya maka ada contohnya dan bagi yang tidak mengerjakannya juga ada contohnya (Majmu’ al-Fatawaa, 24/253). Ucapan hari raya ini diucapkan hanya pada tanggal 1 Syawal.
8. Kemungkaran-kemungkaran yang terjadi pada hari raya.
Saat hari raya, kadang kita terlena dan tanpa kita sadari kita telah melakukan kemungkaran-kemungkaran diantaranya:
  1. Berhias dengan mencukur jenggot (untuk laki-laki).
  2. Berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
  3. Menyerupai atau tasyabuh terhadap orang-orang kafir dalam hal pakaian dan mendengarkan musik serta berbagai kemungkaran lainnya.
  4. Masuk rumah menemui wanita yang bukan mahrom.
  5. Wanita bertabarruj atau memamerkan kecantikannya kepada orang lain dan wanita keluar ke pasar dan tempat-tempat lain.
  6. Mengkhususkan ziarah kubur hanya pada hari raya ‘ied saja, serta membagi-bagikan permen, dan makanan-makanan lainnya, duduk di kuburan, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, melakukan sufur (wanitanya tidak berhijab), serta meratapi orang-orang yang sudah meninggal dunia.
  7. Berlebih-lebihan dan berfoya-foya dalam hal yang tidak bermanfaat dan tidak mengandung mashlahat dan faedah.
  8. Banyak orang yang meninggalkan sholat di masjid tanpa adanya alasan yang dibenarkan syari’at agama, dan sebagian orang hanya mencukupkan sholat ‘ied saja dan tidak pada sholat lainnya. Demi Allah ini adalah bencana yang besar.
  9. Menghidupkan malam hari raya ‘ied, mereka beralasan dengan hadits dari Rasulullah: “Barangsiapa menghidupkan malam hari raya ‘iedul fitri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari banyak hati yang mati.” (Hadits ini maudhu’/palsu sehingga tidak dapat dijadikan dalil).
Maroji’:
  1. Ahkamul ‘Aidain oleh Syaikh ‘Ali Hasan bin ‘Ali al-Halabi al-Atsari.
  2. Meneladani Rasulullah dalam Berhari Raya.