Kamis, 18 Juli 2013

(1) HUKUM-HUKUM SYARA’

(1) HUKUM-HUKUM SYARA’

Ketentuan-ketentuan dari Allah dan RasulNya yang bersifat perintah, larangan, anjuran dan yang seumpamanya, oleh ‘ulama-’ulama di-ishthilahkan dengan HUKUM-HUKUM SYARA’, HUKUM-HUKUM SYARIAT atau HUKUM-HUKUM AGAMA.
Dengan ketentuan-ketentuan yang mereka adakan itu, ‘ulama-‘ulama mengeluarkan beberapa macam hukum.
Cukuplah dalam TAMHIED ini kita mengenal 5 macam hukum yang biasa disebut-sebut, yaitu :
  • (1) Wajib,
  • (2) Sunnat,
  • (3) Haram,
  • (4) Makruh,
  • (5) Mubah.
W a j i b

Tentang “wajib” ini, ada banyak ta’rif yang dikemukakan oleh ‘ulama’-‘ulama. Diantaranya, yang agak tepat, ialah ta’rif yang berbunyi :

“Wajib itu satu ketentuan Agama yang harus dikerjakan. Kalau tidak, berdosalah”

Umpamanya : Shalat ‘Isya’, hukumnya ,.wajib”, ya’ni satu ketentuan yanq harus dikerjakan. Kalau orang Islam lidak mau shalat yang diperintah itu, berdosalah ia.

Alasan yang dipakai untuk membuat ta’rif tersebut, adalah firman Allah swt. diantaranya:

Arinya : Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang meIanggar perintah Allah daripada ditimpa fitnah,
atau ditimpa ‘adzab yang pedih.
(Quran, An-Nur 83)

Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa orang yang melanggar perintah Allah (=Agama) itu, akan disiksa, sedang yang akan di-adzab itu tidak lain, melainkan orang yang berdosa.

S u n n a h :

Ta’rief untuk “sunnah”, demikian :

"SUNNAH” itu satu perbuatan yang kalau dikerjakan, akan diberi ganjaran, tetapi kalau tidak dikerjakan tidak berdosa,
Contohnva :
Nabi s.a.w. bersabda :

Artinya: : Shaumlah sehari, dan berbukalah sehari.
(Riwayat Bukhary dan Muslim)

Dalam Hadiets ini, ada perintah „shaumlah”, Kalau perintah ini dianggap „wajib”, berarti menyalahi sabda Nabi s.a.w. yang dihadapkan kepada seorang ‘Arab gunung, bahwa shaum yang „wajib” itu, adalah shaum bulan Ramadlan saja. Maka „perintah” dalam Hadiets itu bukan wajib. Kalau bukan wajib, maka sesuatu perintah itu menuju kepada dua kemungkinan :
(1) kemungkinan „sunnah” dan (2) kemungkinan „mubah”.

“Shaum” adalah soal Agama.atau ‘ibadat. Perintah yanq bukan wajib, kalau berhubunq dengan ‘ibadat, dihukumkan „sunnah”. Maka , shaum sehari, berbuka sehari” itu, hukumnya “sunnah”, yaitu : kalau dikerjakan mendapat ganjaran, tetapi tidak berdosa, kalau tidak dilakukan.

Alasan untuk ketetapan demikian itu, ada banyak. Diantaranya firman Allah s.w.t.

Artinya :  Dan bagi orang-2 yg berbuat kebaikan (disediakan) kebaikan dan tambahan.
(Quran, Surah Yunus 28)

Ayat tersebut, menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan sesuatu kebaikan, selain mendapat balasan, ada pula tambahan. Tambahan inilah yang biasa kita katakan „ganjaran”.

H a r a m :

Ta’rief bagi hukum "haram” itu, diantaranya demikian :

„HARAM” itu satu ketentuan larangan dari Agama yanq tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu”.
Umpamanpa :
Nabi saw Bersabda:

Artinya : Janganlah kamu mendatangi tukang-2 tenung.
(Shahih Riwayat Thabarany)

“Mendatangi tukang-tukang tenung” denqan tujuan menanyakan sesuatu hal Ghaib, lalu dipercayainya itu, tidak boleh. Kalau orang berbuat yang demikian itu, berdosalah ia.
Alasan untuk ta’rief „haram” tersebut, diantaranya, sama dengan alasan yang dipakai untuk menetapkan ta’rief „wajib”, yaitu ayat Quran. surah An-Nur 83.

M a k r u h :

Arti „makruh” : dibenci. Diantara ta’rief-ta’rief nya yang kena, adalah begini :

„MAKRUH itu, satu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan daripada dilakukan”.

Sebagai contoh : „Makan binatang buas”.
Dalam Hadiets ­hadiets ada larangannya. Kita hukumkan dia “Makruh”.

Jalannya begini :
Dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau „larangan” makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi s.a.w. ,yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mu
ngkin. Berarti binatang buas itu „tidak haram”. Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hukum : mubah atau makruh. „Mubah” tidak kena, karena Nabi s.a.w. melarang, bukan memerintah. Jadi „larangan” Nabi s.a.w. dalam Hadiets-hadiets tentang binatang buas itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain, melainkan „makruh”.
Kesimpulannya :     Binatang buas itu „makruh”.

M u b a h :

„Mubah” artinya :  dibolehkan. Sering juga disebut  „halal”, Ta’riefnya begini :

„MUBAH itu, ialah satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya”.
 
Umpamanya :
Dalam Quran ada perintah makan „Perintah” ini dianggap „mubah”.
 
Alasannya begini :
Kalau kita anggap „perintah makan” itu „wajib”, maka anggapan ini tidak kena, karena „makan” ini suatu perbuatan ,yang mau tidak mau, diperintah atau tidak, mesti dilakukan oleh setiap manusia.
 
Sesuatu yang sudah mesti dan tak dapat dielak, tidak perlu di  „wajibkan”. Berarti „perintah” Allah itu bukan wajib. Sesuatu yang bukan wajib, menghadapi dua kemungkinan hukum : sunnat dan mubah.
 
Oleh karena „makan” itu soal keduniaan, dan satu kemestian yang tidak boleh terlepas dari manusia, maka bukanlah ia sesuatu ‘amal yang dijanjikan ganjaran padanya. Kalau bukan ‘amal, maka hukumnya adalah „mubah”.

KESIMPULAN DAN PENJELASAN :

  1. Ta'rief-ta'rief yang saya sebutkan di atas, adalah ta'rief ­ta'rief sederhana untuk memudahkan pengertian.
  2. Perintah-perintah Agama mempunyai hukum : wajib atau sunnat atau mubah.
  3. Hukum wajib dan sunnat ada pada amal-amal 'ibadat dan keduniaan, tetapi hukum mubah hanya ada pada keduniaan saja.
  4. Larangan-larangan Agama mempunyai hukum-hukum : haram dan makruh. Hukum-hukum ini ada dalam 'ibadat dan keduniaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar