Ketentuan-ketentuan dari Allah dan RasulNya yang bersifat perintah,
larangan, anjuran dan yang seumpamanya, oleh ‘ulama-’ulama
di-ishthilahkan dengan HUKUM-HUKUM SYARA’,
HUKUM-HUKUM SYARIAT atau HUKUM-HUKUM AGAMA.
Dengan
ketentuan-ketentuan yang mereka adakan itu, ‘ulama-‘ulama mengeluarkan beberapa
macam hukum.
Cukuplah
dalam TAMHIED ini kita mengenal 5 macam hukum yang biasa disebut-sebut,
yaitu :
-
(1) Wajib,
-
(2) Sunnat,
-
(3) Haram,
-
(4) Makruh,
-
(5) Mubah.
W a j i
b
Tentang
“wajib” ini, ada banyak ta’rif yang dikemukakan oleh ‘ulama’-‘ulama.
Diantaranya, yang agak tepat, ialah ta’rif yang berbunyi
:
“Wajib itu
satu ketentuan Agama yang harus dikerjakan. Kalau tidak,
berdosalah”
Umpamanya :
Shalat ‘Isya’, hukumnya ,.wajib”, ya’ni satu ketentuan yanq harus dikerjakan.
Kalau orang Islam lidak mau shalat yang diperintah itu, berdosalah
ia.
Alasan yang
dipakai untuk membuat ta’rif tersebut, adalah firman Allah swt. diantaranya:
Arinya :
Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang meIanggar perintah Allah daripada
ditimpa fitnah,
atau ditimpa ‘adzab yang pedih.
(Quran, An-Nur 83)
atau ditimpa ‘adzab yang pedih.
(Quran, An-Nur 83)
Ayat ini
dengan tegas menunjukkan bahwa orang yang melanggar
perintah Allah (=Agama) itu, akan disiksa, sedang yang akan di-adzab itu tidak
lain, melainkan orang yang berdosa.
S
u n n a h :
Ta’rief
untuk “sunnah”, demikian :
"SUNNAH”
itu satu perbuatan yang kalau dikerjakan, akan diberi ganjaran, tetapi kalau
tidak dikerjakan tidak berdosa,
Contohnva :
Nabi s.a.w. bersabda :
Nabi s.a.w. bersabda :
Artinya: :
Shaumlah sehari, dan berbukalah sehari.
(Riwayat
Bukhary dan Muslim)
Dalam
Hadiets ini, ada perintah „shaumlah”, Kalau perintah ini dianggap „wajib”,
berarti menyalahi sabda Nabi s.a.w. yang dihadapkan kepada seorang ‘Arab gunung,
bahwa shaum yang „wajib” itu, adalah shaum bulan Ramadlan saja. Maka „perintah”
dalam Hadiets itu bukan wajib. Kalau bukan wajib, maka sesuatu perintah itu
menuju kepada dua kemungkinan :
(1)
kemungkinan „sunnah” dan (2) kemungkinan „mubah”.
“Shaum”
adalah soal Agama.atau ‘ibadat. Perintah yanq bukan wajib, kalau berhubunq
dengan ‘ibadat, dihukumkan „sunnah”. Maka , shaum sehari, berbuka sehari” itu,
hukumnya “sunnah”, yaitu : kalau dikerjakan mendapat ganjaran, tetapi tidak berdosa, kalau tidak dilakukan.
Alasan
untuk ketetapan demikian itu, ada banyak. Diantaranya firman Allah
s.w.t.
Artinya : Dan bagi orang-2 yg berbuat kebaikan
(disediakan) kebaikan dan tambahan.
(Quran, Surah Yunus 28)
(Quran, Surah Yunus 28)
Ayat
tersebut, menunjukkan bahwa orang yang mengerjakan sesuatu kebaikan, selain mendapat balasan, ada pula tambahan.
Tambahan inilah yang biasa kita katakan „ganjaran”.
H
a r a m :
Ta’rief
bagi hukum "haram” itu, diantaranya
demikian :
„HARAM” itu
satu ketentuan larangan dari Agama
yanq tidak boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah
orang itu”.
Umpamanpa :
Nabi saw Bersabda:
Nabi saw Bersabda:
Artinya :
Janganlah kamu mendatangi tukang-2 tenung.
(Shahih
Riwayat Thabarany)
“Mendatangi tukang-tukang tenung” denqan tujuan
menanyakan sesuatu hal Ghaib, lalu dipercayainya itu, tidak boleh. Kalau orang
berbuat yang demikian itu, berdosalah ia.
Alasan
untuk ta’rief „haram” tersebut, diantaranya, sama dengan alasan yang dipakai
untuk menetapkan ta’rief „wajib”, yaitu ayat Quran. surah An-Nur
83.
M
a k r u h :
Arti
„makruh” : dibenci. Diantara ta’rief-ta’rief nya yang kena, adalah begini
:
„MAKRUH itu, satu ketentuan larangan yang
lebih baik tidak dikerjakan daripada dilakukan”.
Sebagai contoh : „Makan binatang buas”.
Dalam Hadiets hadiets ada larangannya. Kita
hukumkan dia “Makruh”.
Jalannya begini :
Dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau „larangan” makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi s.a.w. ,yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu „tidak haram”. Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hukum : mubah atau makruh. „Mubah” tidak kena, karena Nabi s.a.w. melarang, bukan memerintah. Jadi „larangan” Nabi s.a.w. dalam Hadiets-hadiets tentang binatang buas itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain, melainkan „makruh”.
Kesimpulannya : Binatang buas itu „makruh”.
Dalam Al-Quran, surah Al-Baqarah, ayat 173, Allah telah membatas yang haram dimakan, yaitu hanya satu saja, yaitu babi. Maka kalau „larangan” makan binatang buas itu kita hukumkan haram juga, berarti sabda Nabi s.a.w. ,yang melarang makan binatang buas itu, menentangi Allah. Ini tidak mungkin. Berarti binatang buas itu „tidak haram”. Kalau tidak haram, ia berhadapan dengan dua kemungkinan hukum : mubah atau makruh. „Mubah” tidak kena, karena Nabi s.a.w. melarang, bukan memerintah. Jadi „larangan” Nabi s.a.w. dalam Hadiets-hadiets tentang binatang buas itu, kita ringankan. Larangan yang ringan tidak lain, melainkan „makruh”.
Kesimpulannya : Binatang buas itu „makruh”.
M u b a h :
„Mubah” artinya : dibolehkan. Sering juga
disebut „halal”, Ta’riefnya begini :
„MUBAH itu, ialah satu perbuatan yang tidak
ada ganjaran atau siksaan bagi orang yang mengerjakannya atau tidak
mengerjakannya”.
Umpamanya :
Dalam Quran ada perintah makan „Perintah” ini dianggap „mubah”.
Dalam Quran ada perintah makan „Perintah” ini dianggap „mubah”.
Alasannya begini :
Kalau kita anggap „perintah makan” itu „wajib”, maka anggapan ini tidak kena, karena „makan” ini suatu perbuatan ,yang mau tidak mau, diperintah atau tidak, mesti dilakukan oleh setiap manusia.
Kalau kita anggap „perintah makan” itu „wajib”, maka anggapan ini tidak kena, karena „makan” ini suatu perbuatan ,yang mau tidak mau, diperintah atau tidak, mesti dilakukan oleh setiap manusia.
Sesuatu yang sudah mesti dan tak dapat
dielak, tidak perlu di „wajibkan”. Berarti „perintah” Allah itu
bukan wajib. Sesuatu yang bukan wajib, menghadapi dua kemungkinan hukum : sunnat dan mubah.
Oleh karena „makan” itu soal keduniaan, dan
satu kemestian yang tidak boleh terlepas dari manusia, maka bukanlah ia sesuatu
‘amal yang dijanjikan ganjaran padanya. Kalau bukan ‘amal, maka hukumnya adalah
„mubah”.
KESIMPULAN DAN PENJELASAN :
-
Ta'rief-ta'rief yang saya sebutkan di atas, adalah ta'rief ta'rief sederhana untuk memudahkan pengertian.
-
Perintah-perintah Agama mempunyai hukum : wajib atau sunnat atau mubah.
-
Hukum wajib dan sunnat ada pada amal-amal 'ibadat dan keduniaan, tetapi hukum mubah hanya ada pada keduniaan saja.
-
Larangan-larangan Agama mempunyai hukum-hukum : haram dan makruh. Hukum-hukum ini ada dalam 'ibadat dan keduniaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar